Selasa, 03 Juni 2008 15:34
Setelah lebih dari 50 tahun nyaris tersisih tradisi masyarakat Sambas, ritual "Antar Ajung" atau ritual mengumpulkan roh-roh jahat kini dimunculkan kembali.
Antar Ajung merupakan simbol kekompakan petani dua Kecamatan Paloh dan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas. Pateni di kedua kecamatan itu menganggap roh jahat selalu mengganggu pertanian mereka, oleh karena itu roh harus dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam ajung, yang dilengkapi dengan sesajian oleh seorang dukun atau pawang. Roh-roh jahat itu kemudian dikirim ke laut lepas.
Antar berarti mengantar roh-roh jahat ke laut. Roh itu kemudian dimasukkan ke Ajung, yang berarti sebuah perahu kecil dibuat dari kayu (kayu pelai) yang mudah terapung.
Oleh pembuatnya, ajung dibuat layaknya sebuah perahu layar dilengkapi dengan kemudi, tempat penyimpanan barang beserta padung kayu yang menyerupai seorang nakhoda dan anak buah kapal (ABK).
Ajung dihiasi layaknya perahu layar sungguhan. Ajung tersebut diberi sesajian, seperti beras ratih, beras kuning, cucur daram-daram, buah pinang muda, kelapa muda, berbagai kebutuhan pokok, bahkan anak ayam yang dipercaya sebagai sesajian yang sangat digemari roh-roh.
Setelah semua perlengkapan dimasukkan ke ajung, maka di malam hari sebelum ajung dilepas ke laut lepas --dilakukanlah upacara adat oleh seorang pawang (dukun) yang mempunyai kekuatan ilmu gaib untuk mengumpulkan roh-roh jahat. Roh jahat dipercaya selalu mengganggu tanaman padi sewaktu masa tanam, padi sedang berisi, maupun saat panen.
Sebelum ajung diisi oleh seorang pawang atau beberapa orang yang dianggap mempunyai ilmu gaib, sebelum menjelang magrib, setiap rumah warga disirami air tolak bala yang telah dibacakan mantera oleh dukun-dukun setiap desa.
Tradisi tolak bala dipercaya, agar roh-roh jahat ketika dipanggil atau dikumpulkan oleh para pawang tidak nyasar rumah-rumah warga --- setelah itu warga berkumpul ramai-ramai makan bersama-sama di rumah warga yang ditunjuk sebagai tuan rumah.
Ritual mengumpulkan roh-roh jahat oleh beberapa orang dukun dilakukan mulai tengah malam hingga pagi hari.
Sejarah Antar Ajung
Dulu, Antar Ajung sebenarnya merupakan upeti yang diberikan oleh masyarakat Sambas kepada Kerajaan Majapahit yang mewajibkan pembayarannya pada tiap setahun sekali. Waktu itu upeti dikirim dengan menggunakan sarana angkutan laut.
Setelah berpuluh-puluh tahun memberikan upeti pada kerajaan Majapahit, maka ketika Kerajaan Sambas, Kerajaan Alwatzikhoebillah dipimpin oleh Sultan Muhammad Syafiudin, pembayaran upeti tersebut ditiadakan.
Untuk mengenang pembayaran upeti, Sultan Muhammad Syafiudin memerintahkan rakyat agar setiap akan memulai persemaian (tanam benih padi) supaya mendapatkan hasil yang memuaskan, terlebih dahulu melakukan ritual Antar Ajung. Namun kemudian ritual itu "hilang" selama hampir 50 tahun lamanya.
Hanya sebagian kecil dari masyarakat petani setempat yang masih mengingatnya dan melakukan tradisi itu secara sendiri-sendiri.
Namun guna menjaga agar budaya tidak punah, Ritual Antar Ajung itu dimunculkan kembali oleh tokoh masyarakat setempat melalui upacara besar yang digelar setahun sekali menjelang musim semai agar padi yang ditanam tidak diserang hama penyakit dan wereng, kata tokoh masyarakat dan pawang Antar Ajung, Awang Bujang, 75, di Sambas, Minggu (1/6) lalu.
"Kini antar ajung tidak hanya sebagai mengenang pembayaran upeti, melainkan, sebagai simbol kekompakan dan persamaan antar masyarakat petani yang bermukim di pesisir Pantai Selatan dalam memulai persemaian padi," ujarnya.
Ia mengatakan, kalau tidak kompak, tidak jarang sawah-sawah petani disini yang diserang hama tikus dan wereng, tetapi sejak dilakukan ritual antar ajung dalam beberapa tahun terakhir, serangan hama menjadi berkurang.
Ternyata tidak berakhir begitu saja. Bagi masyarakat yang telah melakukan ritual Antar Ajung, diwajibkan mematuhi pantangan, seperti tidak boleh menebang kayu besar di hutan dan pohon sagu, serta tidak membuang sampah padi ataupun rumput dari sawah kedalam parit.
Jika pantangan dilanggar, maka ritual Antar Ajung yang telah dilaksanakan akan percuma, maka hama-hama padi akan kembali menyerang tanaman padi para petani.
Supaya pantangan Antar Ajung dihindari masyarakat, maka dibuatlah sanksi adat. Jika ada yang menebang kayu besar di hutan, akan dikenakan hukuman adat dengan membuat ketupat sebanyak seratus buah yang dibagikan satu per rumah dan membayar Rp25 ribu untuk diinfakkan ke masjid.
Sementara bagi masyarakat yang melanggar pantangan dengan membuang sampah di parit, akan dikenakan hukuman adat dengan membayar sebanyak 150 buah ketupat dan denda uang Rp50 ribu.
"Hukuman adat memang ringan, tetapi sanksi moral dengan membagikan ketupat ke tiap rumah dinilai sangat memalukan," kata Ketua Dewan Adat Melayu, Desa Pipitteja, Kecamatan Teluk Keramat, Abdul Gani, 61.
Pemberlakuan hukuman adat tersebut mulai dua tahun ini, karena kalau hukum adat tidak ditetapkan, maka banyak masyarakat yang masih melanggar pantangan tersebut.
Ia menambahkan, ada perbedaan kalau melaksanakan ritual Antar Ajung dengan tidak melaksanakannya. Biasanya, jika tidak dilakukan ritual, maka hasil panen akan menurun dan akan diserang hama tikus dan wereng.
"Kita berharap Antar Ajung diteruskan oleh generasi muda agar tradisi nenek moyang ini tidak punah," harapnya.
Penerus Ajung
Hamdi, 35, salah seorang pawang muda dari Desa Danau Peradah, Kecamatan Paloh yang berusaha meneruskan tradisi ritual Antar Ajung, dengan membuat Ajung menggunakan modal sendiri sejak ia berumur 20 tahun, yang diwariskan oleh orangtua dan leluhurnya secara turun-temurun.
Sebelum memulai membuat ajung, ia terlebih dahulu melakukan ritual dengan memanggil roh leluhurnya untuk meminta petunjuk kapal mulai membuat ajung dan meminta petunjuk apa saja yang dilarang sewaktu membuat ajung.
"Biasanya petunjuk dari roh leluhur tidak begitu banyak, paling yang sifatnya memang benar benar dilarang, seperti tidak boleh bersiul di malam hari ketika membuat ajung dan lain-lain," kata ayah tiga anak yang sehari-hari bertani.
Ia menjelaskan, untuk membuat ajung paling tidak ia membutuhkan waktu satu minggu, karena pengerjaannya sambil-sambilan di waktu senggang setelah bekerja rutinitas sebagai seorang petani.
"Saya membuat ajung dengan modal sendiri, karena hingga kini dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas, masih dirasakan kurang. Padahal kita ketahui ritual Antar Ajung, tidak sedikit dikunjungi masyarakat, baik dari Kecamatan Paloh maupun Kecamatan Teluk Keramat," ujarnya.
Ia berharap, Pemda Kabupaten Sambas, mengagendakan tradisi ritual Antar Ajung dalam kalender wisata baik lokal maupun nasional, karena tradisi ini hanya ditemukan di pesisir Pantai Selatan, tepatnya di dua kecamatan, yaitu Paloh dan Kecamatan Teluk Keramat.
"Masak, sudah puluhan tahun ritual Antar Ajung tidak permah dibuka oleh Bupati maupun Wakil Bupati, Kabupaten Sambas," kesal Hamdi.
Sementara itu, Sekretaris Seni Budaya Lancang Kuning dan selaku Ketua Panitia Festival Budaya Antar Ajung tahun 2008, Joko Waluyo mengatakan, kekecewaannya atas kurang diperhatikannya budaya Antar Ajung yang merupakan aset daerah yang tidak ternilai harganya oleh Pemerintah Kabupaten Sambas.
"Untuk Festival Budaya Antar Ajung tahun ini, kita hanya dijanjikan dana talangan, sebelum-sebelumnya tidak pernah sekalipun dapat bantuan dari pemerintah. Padahal pemerintah pusat sudah mendukung segala kegiatan yang sifatnya dapat menarik wisatawan lokal maupun manca negara, tetapi Pemkab Sambas masih jauh dari kurang perhatian," kata Joko Waluyo.
Banyak potensi wisata bahari di Kabupaten Sambas, 250 km arah utara Pontianak yang hingga kini masih belum digarap. Padahal lokasi wisata tersebut sangat indah dan menarik untuk dikunjungi, di antaranya, Pantai Selimpai atau Tanjung Belimbing yang kaya akan habitat penyu, Air Terjun, Batu Bejamban (Kecamatan Paloh), Danau Sebedang, Bukit Bujang Nadi-Dare Nandung (di Kecamatan Sambas) dan lain-lain.
"Potensi tersebut sangat bagus tetapi masih belum tersentuh. Pemerintah akan terus mempromosikan aset-aset wisata tersebut baik lokal maupun menca negara," katanya.
Tetapi, ia mengatakan minimnya sarana dan prasarana infrastruktur, seperti jalan yang masih jauh dari baik, terputusnya dua Kecamatan Teluk Keramat dan Paloh oleh alur sungai kini masih terkendala.
Kendala itu mengakibatkan wisatawan luar kecamatan dan luar kota enggan mengunjungi dua kecamatan yang kaya Sumber Daya Alam dan tradisi leluhur yang unik itu.
***2***
lw bleh tw manfaatnye ngntar ajug untuk jaman sekarang y ap,.
BalasHapus