Tuesday, December 15, 2009
Asal Usul kaum Bunian
Tidak bisa dipungkiri kemunculan Kaum Bunian sedikit banyak memberi perasaan takut dalam diri manusia. Meski mereka sebenarnya tidak mengganggu. Kemunculannya kerap membuat bulu kuduk merinding. Maklum, perbedaan alam mereka telah membuat semacam jurang pemisah. Padahal, bila ditelusuri, asal usul kaum Bunian ini adalah manusia juga. Keberadaan mereka sangat erat hubungannya dengan kerabat Keraton Sambas. Siapakah sebenarnya kaum Bunian ini ?
Tahun 1757 M, Kerajaan Islam Sambas berada di puncak kejayaan. Raden Djamak yang bergelar Sultan Oemar Aqqamaddin (II), naik tahta. Ia mengantikan ayahanda Sulta Abubakar Kamaluddin, keturunan Sultan Hasan Ibnu Syaiful Rizal. Keraton Sambas kerap pula disebut istana Alwaat Zik Hubbillah. Keraton ini terletak di muara Ulakan yang menghadap persimpangan tiga cabang anak sungai, yakni Sungai Sambas, Sungai Teberau dan Sungai Subah.
Diujung utara berlatar belakang Gunung Senuju yang melengkung hijau, sementara di sebelah timur berderet bukit barisan yang dinamakan Pegunungan Sebedang. Di muara Sungai Sambas selatan diapit dua gunung, yaitu Gunung Gajah dan Gunung Kalangbau. Karena kondisi geografis itulah, negeri Sambas menjadi terkenal. Negeri itu aman dan makmur dengan julukan “negeri laksana kembang setaman”.
Keraton Sambas didirikan oleh Raden Sulaiman yagn bergelar Sultan Muhammad Tsafiuddin I di Tanjung Muara Ulakan Lubuk Madung, tahun 1687 Miladiyah. Atau bertepatan dengan tahun 1680 Hijriah. Raden Sulaeman adalah putra dari Giri Mustika, Raja Tengah, yang menikah dengan putri Surya Kencana, adik raja Panembahan yang memerintah Kerajaan Tanjungpura. Perkawinan itu terjadi karena kapal yagn ditumpangi Raja Tengah dihantam badai di sekitar Pulau Tanjung Datuk. Kejadiannya saat ia pulang dari Keraton Johor menuju Sarawak.
Tanjung Datuk sendiri terkenal angker. Menurut cerita, Tanjuk Datuk atau Paloh itu adalah pusat pemerintahan orang-orang Bunian. Kerajaan Sambas Tua terletak di Kota Lama dan berada di wilayah Kecamatan Teluk Keramat, Kabupaten Sambas. Kerajaan itu dikenal dengan nama Kerajaan Ratu Sepudak, yang merupakan pendiri kerajaan kecil itu pada jaman sebelum masuknya pengaruh Islam ke Sambas.
Menurut beberapa sumber, kerajaan kecil di Paloh pada mulanya dipimpin oleh Pangeran Prabu Kencana yang bergelar Ratu Anom Kesuma Yoeda. Lengsernya beliau dari tahta pemerintahan karena pemberontakan yang dilakukan oleh anak angkatnya yagn berasal dari negeri Bunian bernama Tan Nunggal. Dan menurut cerita dari mulut ke mulut di kalangan kerabat istana, yagn saat ini memerintah di Kerajaan Bunian adalah keturunan raja sambas bernama Raden Sandi. Raden Sandi dinyatakan menghilang dari kerajaan, karena diambil kaum Bunian.
Menurut Hasan (65), kuncen Keraton Sambas, yagn juga masih keturunan Pangeran Bendahara, putra Sultan Moehammad Tsafiuddin II, menolak jika raibnya sang pangeran karena diambil untuk dijadikan raja di Kerajaan Bunian. “Itu tidak benar. Tidak ada orang Bunian yang mengambil Raden Sandi. Beliau Raib karena kehendak Allah semata,” tuturnya.
Raden Sandi Braja, kata Hasan, adalah salah satu putra raja Sambas Sultan Moehammad Tsafioeddin II. Ia termasuk sosok yang jenius dan mampu menyelesaikan sekolah sekolah sebelum waktunya. Tanggal 8 Desember 1890, ia melanjutkan sekolah ke tanah Jawa diantar Menteri Pangeran Tjakranegara Pandji Anom. Keberangkatannya bersamaan dengan diasingkannya sang ayahanda ke tempat pembuagnan oleh Penjajah Belanda.
Raden Sandi dan saudaranya Raden Mohammad diserahkan kepada Tuan Bestantjesdijk, direktur Opleideing School di Bandung. Dan, lima tahun kemudian keduanya kembali setelah berhasil menyeelsaikan pelajarannya dengan baik. Seusai itu ia langsung diangkat menjadi putra mahkota, namun belum sempat menduduki tahta, beliau meninggal dunia.
Ada beberapa versi soal kematian Raden Sandi Braja. Konon, sang pangeran muda jatuh cinta pada seorang gadis dalam lingkungan istana. Sayangnya, hubungan itu tidak direstui Datu Sultan. Maklum, sang gadis ternyata masih saudara sendiri. Ini sangat dipantangkan di keraton.
Sebenarnya, sang pangeran mdua itu telah dijodohkan dengan gadis yagn berasal dari Negeri Titis Sepancuran, Brunai Darussalam. Karena memang begitulah pesan leluhur memerintahkan. Tapi ia tetap saja menolak, sampai akhirnya mengambil jalan tengah. Dengan lapang dada ia menerima saran dari ibundanya. Sarannay, jika tetap menolak untuk dijodohkan dengna puteri dari Brunai, maka ia diperbolehkan mencari puteri dari negeri lain, asalkan bukan dengan saudara sepupu sendiri. Maka berangkatlah Raden Sandi ke negeri Johor.
Tapi, baru beberapa bulan di sana, ia mendapat kabar bahwa kekasihnya telah dinikahkan dengna seorang lelaki asal negeri Siak. Mendengar kabar tidak sedap itu, Raden Sandi langsung membatalkan perantauannya. Ia pulang ke Sambas untuk membuktikan kebenaran kabar iut. Dan, kenyataannya telah membuatnya sakit hati. Ia tak menyangka ayahandanya sampai hati memtuuskan hubungan mereka. Maka tanpa pikir panjang lagi, Raden Sandi melampiaskan amarahnya. Ia mengamuk dan tak seorang pun mampu menahan kehebatannya.
Usai melampiaskan kemarahannya, ia bersumpah tak akan menduduki tahta kerajaan dan akan meninggalkan Sambas selama-lamanya. Agaknya, takdir berkehendak lain. Belum sempat Raden Sandi meninggalkan istana Sambas, ia terserang penyakit yang tak ada obatnya. Penyakit itu akhirnya merenggut jiwanya. Namun sebuah keajaiban terjadi.
Sesaat setelah mengembuskan nafas, tubuh Raden Sandi hilang entah ke mana. Yang tinggal hanyalah batang pisang. Raden Sandi hilang secara misterius.
Menurut sebagian kawula istana, jenazah putra mahkota itu lenyap misterius dan digandi batang pisang. Tapi banyak pula yagn mengatakan bila ia mati diambil oleh orang Bunian di Paloh. Konon, itu sebagai tebusan atas nyawa burung peliharaan Putri Kibanaran (Orang Bunian) yagn tewas saat Raden Sandi berburu di hutan Paloh. Orang pintar dari keraton menyatakan bahwa Raden Sandi Braja telah menjadi raja di Negeri Kibanaran.
Belakangan, ada beberapa sumber yang menyebut bahwa dulu pernah ada pengusaha dari Singapura yagn pergi ke Bandar Paloh dan berjumpa dengan Raden Sandi. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa suasana di Bandar Paloh sangat ramai dan sibuk, laksana pelabuhan laut sebuah negara besar. Transaksi dagang dengan Raden Sandi pun berlangsung. Tapi apa yang terjadi.
Saat sang pengusaha yang bernama Taib bin Djasman membuka map transaksi di depan rekannya dari Jakarta, kertas berharga itu hanyalah selembar daun sirih yang sudah layu. Dengan penasaran sang pengusaha itu kembali ke Bandar Paloh. Tapi, yang didapat di sana berbeda. Yang dia lihat sekarang hanyalah sebuah desa dan pasar kecil di pinggir sungai kecil. Sebagian kawasan masih ditumbuhi hutan lebat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar