Kamis, 15 April 2010

Basyuni Imran Maharaja Imam Sambas

1. Riwayat Hidup

Syekh Muhammad Basyuni bin Muhammad Imran bin Muhammad Arif bin Imam Nuruddin bin Imam Mushthafa as-Sambasi, lebih dikenal dengan nama Basyuni Imran Maharaja Imam, dilahirkan pada tanggal 23 Zulhijjah 1300 H/25 Oktober 1883 M di Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Ia adalah pewaris terakhir gelar Maharaja Imam (gelar tertinggi pejabat urusan agama) di Kesultanan Melayu Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Ia wafat pada tanggal 29 Rajab 1396 H/26 Juli 1976 M.

Sejak kecil, Basyuni Imran belajar ilmu agama Islam (baca al-Qur‘an dan bahasa Arab) kepada ayahnya Muhamamd Imran dan belajar pengetahuan umum di Sekolah Rakyat (volksschool) di tanah kelahirannya. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Mekah dari tahun 1320 H/1902 M hingga tahun 1325 H/akhir tahun 1907 M. Di Mekah, ia belajar nahwu (tata bahasa Arab) dan fiqh (islamic jurisprudence) kepada beberapa guru Melayu, seperti Umar al-Sumbawi, Usman al-Funtiani, Syeikh Ahmad Khathib al-Minankabawi, dan Syeikh Ahmad al-Fathani. Selain itu, ia juga belajar usul al-fiqh, hadis, tafsir dan tauhid kepada Ulama Arab, ‘Syekh Ali al-Maliki‘. Ia kemudian melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, selama dua tahun (dari 1327 H/1909 M hingga 1329 H/1911 M). Setahun kemudian (1330 H/1912 M), ia pindah ke Madrasah Darud Da‘wah wal Irsyad, balai pendidikan yang didirikan oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha, di Kairo, Mesir.

Pada tahun 1913, Basyuni Imran dipanggil keluarganya pulang ke Sambas, Kalimantan Barat, karena ayahnya menderita sakit keras. Selang beberapa bulan kemudian, ia dinobatkan sebagai penyandang gelar Maharaja Imam menggantikan ayahnya, Muhammad Imran, yang bertugas menangani urusan agama sekaligus menjadi qadi dan mufti Kesultanan Sambas. Selain menjalankan fungsinya sebagai qadi dan mufti, ia juga aktif mengajar pada beberapa madrasah di kampungnya. Di samping itu, ia juga mengadakan ceramah umum seminggu sekali di masjid Kesultanan Melayu Sambas dengan menggunakan artikel tafsir dan tauhid karya Rasyid Ridha sebagai rujukan utamanya. Tahun 1916, ia mendirikan madrasah modern ‘Madrasah Sultaniyyah‘ yang dibiayai sepenuhnya oleh Sultan Sambas. Madrasah ini tampak berbeda dengan kebanyakan madrasah di Indonesia saat itu, karena pengaja­rannya menggunakan bahasa Arab dan semua mata pelajarannya tentang agama. Selain itu, ia juga pernah terlibat aktif dalam kepengurusan Masyumi, namun kiprahnya di partai tersebut tidak dikenal secara luas.

2. Pemikiran

Selama bertugas menjadi qadi dan mufti, serta aktif mengajar di madrasah Sultaniyyah, Basyuni Imran tidak pernah memiliki kesempatan untuk kembali lagi ke Mesir. Namun, kenyataan ini tidak menyurutkan tekadnya untuk terus mengikuti perkembangan pemikiran dari jurnal Al-Manar (jurnal yang dikenalnya ketika belajar di Mesir). Bahkan, ia tetap berkorespondensi dengan Rasyid Ridha (salah satu editor Al-Manar) untuk bertanya tentang berbagai macam wacana. Salah satu pertanyaannya kepada jurnal tersebut adalah mengapa umat Islam terbelakang sementara umat lain maju? Pertanyaan ini langsung dijawab oleh Syakib Arsalan dalam bukunya “Li-madza Ta‘akhkhara al-Muslimun wa Li-madza Taqaddama Ghaeruhum”, yang diterbitkan di Mesir beberapa bulan setelah itu. Terlihat di sini bahwa pemikiran kritis dan reformis Basyuni mulai tumbuh karena pengaruh tulisan-tulisan Rasyid Ridha yang banyak dibacanya.

Selain itu, Basyuni juga telah menterjemahkan dua karya Rasyid Ridha ke dalam bahasa Melayu, menulis tujuh buku berbahasa Melayu, dan dua buku berbahasa Arab. Buku-bukunya merupakan karya sederhana, tetapi semuanya merefleksikan sikap reformisnya. Misalnya, pada pendahuluan bukunya yang berjudul “Nur al-Siraj fi Qissa al-Isra‘ wa al-Mi‘raj, ia mengemukakan bahwa penulisan buku ini bertujuan untuk mengevaluasi ceramah-ceramah yang disampaikan pada acara peringatan Isra dan Mi‘raj yang telah berlaku di kampungnya. Ia mengusulkan agar cerita-cerita yang disampaikan pada acara tersebut didasarkan pada hadis sahih. Dalam karya lain “Al-nusus wa al-Barahin”, ia bicara tentang topik-topik yang berkaitan dengan isu-isu lokal. Karya tersebut menceritakan adanya beberapa masjid di Sambas yang tidak digunakan untuk salat jum‘at karena jama‘ahnya kurang dari empat puluh orang (syarat minimal sahnya salat jum‘at menurut madzhab Imam Syafi‘i). Sementara, menurut Basyuni, yang mendasarkan pandangannya pada hadis dan fiqh kontemporer, masjid-masjid tersebut hendaknya tetap dipergunakan salat jum‘at meskipun jama‘ahnya kurang dari empat puluh orang. Sebab, lanjutnya, salat jum‘at tetap dianggap sah meskipun hanya diikuti oleh sedikit orang.

Kedua karya di atas, menunjukkan bahwa pemikiran Basyuni tergolong dalam pemikiran pembaharu Islam. Sebab, ia tampak serius memikirkan dan menyikapi fenomena kehidupan masyakarat Islam di sekitar Sambas, agar mereka terbebas dari belenggu sistem yang stagnan menuju kemajuan (modern) dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan yang ditempuh untuk membebaskan dan memajukan masyarakatnya tergolong akomodatif dan terkadang radikal. Namun demikian, munculnya pemikiran dan pembaharuan seperti yang dilakukannya adalah bentuk riil dari hasil interaksi intensif antara pengetahuan Islam yang dimiliki dan persoalan kemasyarakatan yang dihadapi.

Pemikiran pembaharuan Basyuni tersebut, tentunya tidak terlepas dari pengaruh gerakan-gerakan pembaruan pemikiran keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Timur Tengah yang muncul di awal abad 19. Di samping itu, ketika belajar di Kairo, Mesir, ia pernah berinteraksi langsung dengan salah satu tokoh pembaharu Islam, Rasyid Ridha, dan terus berkorespondensi selama ia tinggal di Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. Tampak di sini bahwa pembaharuan yang diusungnya tersebut bertujuan untuk menyegarkan kembali pemahaman ajaran Islam yang dipandang tidak relevan lagi dengan semangat modernitas. Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan pembaharuannya yang berkisar pada beberapa tema penting keagamaan, baik dalam lapangan akidah (tauhid/ilmu kalam) maupun dalam lapangan ibadah (fiqh).

Kini, sayangnya, gerakan pembaharuan yang telah dilakukan Basyuni tidak ada yang meneruskannya, karena tak seorang pun dari muridnya yang dapat menggali pemikirannya secara utuh, sehingga Sambas kembali menjadi wilayah yang jauh dari gerakan pemikiran Islam.

3. Karya

Sebagai seorang ulama, Basyuni Imran telah melahirkan beberapa karya, di antaranya:
Bidayatut Tauhid fi ‘Ilmit Tauhid, kutipan dari buku Al-Jawahir al-Kalamiyah karya Syeikh Thahir al-Jazairi, Kalimah at-Tauhid karya Syeikh Husein Wali al-Mashri, dan Kifayah al-‘Awam. Singapura: Mathba‘ah Al-Ahmadiah, 1344 H.
Cahaya Suluh Pada Menyatakan Juma‘at Kurang Daripada Empat Puluh. Singapura: Mathba‘ah Al-Ikhwan, 1340 H.
Tazkir Sabilin Najah fi Tarkis Shalah (Jalan Kelepasan Pada Mengingati Orang Yang Meninggalkan Sembahyang). Singapura: Mathba‘ah Al-Ahmadiah, 1349 H.
Khulashatus Siratil Muhammadiyah (Haqiqat Seruan Islam). Singapura: Mathba‘ah Al-Ahmadiah, 1351 H/1932 M.
Husnul Jawab ‘an Itsbatil Ahillati bil Hisab. Diberi Kata Pengantar oleh Syeikh Tahir Jalaluddin al-Minankabawi. Penang, Malaysia: Maktabah az-Zainiyah, 1938.
Irsyadul Ghilman ila Adabi Tilawatil Quran. Singapura: Mathba‘ah Al-Ahmadiah, 1352 H/1934 M.
Durusut Tauhid As-Saiyid Muhammad Rasyid. Singapura: Mathba‘ah Al-Ahmadiah, tanpa tahun.
Nurus Siraj fi Qishshatil Isra‘ wal Mi‘raj. Singapura: Mathba‘ah Al-Ahmadiah, tanpa tahun.
Kumpulan Khutbah Juma‘at, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, dan Gerhana. Singapura: Mathba‘ah Al-Ahmadiah, tanpa tahun.

4. Penghargaan

Sebagai ulama besar, Basyuni Imran mendapat gelar kehormatan ‘Maharaja Imam‘ dari Kesultanan Melayu Sambas pada tahun 1913.

Sumber :

http://let.uu.nl

www.nla.gov

http://ulama-nusantara.blogspot.com

Ditulis dalam Jejak Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar